Jumat, 25 Desember 2009

Kisah Nabi Muhammad SAW - Hijrah Ke Madinah

Nabi Muhammad telah menjadi Nabi dan mulai menyebarkan dakwahnya. Awalnya secara diam-diam dan lama kelamaan sudah mulai berdakwah secara terbuka.

Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi Muhammad SAW bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad SAW terus melanjutkan dakwahnya. Kegigihan Nabi Muhammad SAW dalam berdakwa mulai terlihat hasilnya. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama Islam. Kebanyakan yang bergabung berasal dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun sebagian dari mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang lemah, tetapi semangat yang mendorong mereka untuk beriman sangat kuat.

Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lama disamping juga khawatir jika struktur masyarakat dan kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi Muhammad SAW yang menekankan pada keadilan sosial dan persamaan derajat.

Mereka menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga antara Abu Thalib dan Nabi Muhammad SAW dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua: memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar berhenti berdakwah, atau menyerahkannya kepada mereka. Abu Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia meminta agar Nabi Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Tetapi Nabi Muhammad SAW menolak permintaannya dan berkata, “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya.”

Mendengar jawaban ini, Abu Thalib pun berkata, “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.

Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah menemui AbU Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad SAW. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mugirah berkata, “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah kita”.

Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abu Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima.”

Kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi Nabi Muhammad SAW secara langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi SAW. Mereka menawarkan takhta, wanita, dan harta yang mereka kira diinginkan oleh Nabi Muhammad SAW, asal Nabi Muhammad SAW bersedia menghentikan dakwahannya. Namun semua tawaran itu ditolak oleh Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan, “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”

Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah masuk Islam mereka siksa dengan sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum. Salah seorang budak bernama Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.

Setiap suku diminta menghukum anggota keluarganya yang masuk Islam sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri. Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka’bah, dan lain sebagainya.

Kekejaman terhadap kaum Muslimin mendorong Nabi Muhammad SAW untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi SAW menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia sekarang) sebagai negeri tempat pengungsian, karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu. Nabi SAW merasa pasti rombongannya akan diterima dengan tangan terbuka.

Rombongan pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita. di antara rombongan tersebut adalah Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayah (putri Rasulullah SAW), Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan jumlah rombongan ini lebih dari 80 orang.

Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja negeri tsb agar menolak kehadiran umat Islam disana. Namun berbagai usaha itu pun gagal. Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah jumlah yang memeluk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman tersebut, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua orang yang dijuluki “Singa Arab” itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad SAW pada waktu itu.

Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad SAW terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka pun berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan segala macam hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah.

Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian Muhammad SAW dan berlangsung selama 3 tahun itu merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu berhenti karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian Bani Hasyim akhirnya dapat kembali pulang ke rumah masing-masing.

Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan Tahun Kesedihan (’Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad SAW. Terlebih lagi, sepeninggal dua pendukungnya itu ( Abu Thalib dan Khadijah ), kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi Muhammad SAW. Hingga kemudian Nabi Muhammad SAW berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta’if. Namun reaksi yang diterima Nabi SAW dari Bani Saqif (penduduk Ta’if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi SAW diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka di bagian kepala dan badannya.

Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa Isra Mi’raj. Isra, yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem. Mi’raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad SAW dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT.

Dalam kesempatannnya berhadapan langsung dengan Allah SWT inilah Nabi Muhammad SAW menerima perintah untuk mendirikan sholat 5 waktu sehari semalam. Peristiwa Isra Mi’raj ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 1.

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Di Mekkah terdapat Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim. Masyarakat jahiliyah Arab dari berbagai suku berziarah ke Ka’bah dalam suatu kegiatan tahunan, dan mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan mereka dalam kunjungan tersebut. Nabi Muhammad SAW mengambil peluang ini untuk menyebarkan Islam.

Di antara mereka yang tertarik dengan seruannya ialah sekumpulan orang dari Yathrib (dikemudian hari berganti nama menjadi Madinah). Nabi Muhammad SAW memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah SWT dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi Muhammad SAW.

Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan 6 orang dari suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Setelah Nabi SAW menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi SAW. Mereka berkata, “Bangsa kami sudah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya kini Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini.”

Pada musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri dari 12 orang suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi SAW di suatu tempat bernama Aqabah. Di hadapan Nabi SAW, mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di Aqabah, maka dinamakan Bai’at Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus oleh Nabi SAW atas permintaan mereka.

Pada musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang, termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui Nabi SAW di Aqabah. Mereka meminta agar Nabi SAW bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi Muhammad SAW dari segala macem jenis ancaman. Nabi SAW menyetujui usul yang mereka ajukan.

Mengetahui adanya perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang Yatsrib, kaum Quraisy menjadi semakin kejam terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Secara diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan muslimin, sedikit demi sedikit, ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi SAW, membelanya sampai Nabi SAW mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.

Kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW sebelum ia sempat menyusul umatnya ke Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya yang terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga ia merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar diminta mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi SAW masih tidur.

Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta Nabi Muhammad SAW keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW menemui Abu Bakar yang telah menunggunya. Mereka berdua kemudian keluar dari Kota Mekah untuk menuju ke sebuah Gua, Goa Tsur namanya yang berlokasi kira-kira 3 mil sebelah selatan dari Kota Mekah.

Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan menjadi lebih aman. Pada malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Muhammad SAW sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada saat yang bersamaan, Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, Jalur ini merupakan Jalur yang tidak umum untuk dilalui.

Setelah 7 hari perjalanan, Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar sampai di suatu desa kecil yang bernama Quba. Lokasi desa ini kira-kira sekitar 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Muhammad SAW membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi SAW sebagai pusat peribadatan.

Tak lama kemudian, Ali bergabung dengan Nabi Muhammad SAW. Sementara di tempat lain, penduduk Yatsrib dengan cemas menunggu-nunggu tibanya rombongan Nabi Muhammad. Menurut mereka, dengan jarak mekkah ke yastrib, seharusnya Nabi Muhammad SAW sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi Muhammad SAW dan rombongannya. Setelah lelah dan cemas menunggu, Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Nabi Muhammad SAW tiba juga di Yastrib dan langsung disambut oleh Penduduk Yastrib. Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, ( Shalawat )yang isinya:

Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit).

Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi,

Wahai orang yang diutus kepada kami,

engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.

Setiap orang ingin agar Nabi SAW singgah dan menginap di rumahnya. Tetapi Nabi SAW hanya berkata, “Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya.”

Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari. Dengan demikian Nabi SAW memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.

Sejak itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinah an-Nabi (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madinah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.

Semenjak itu, Nabi Muhammad menjadi pemimpin kota Madinah di mana disini dakwah Nabi Muhammad dapat di terima dengan baik. Tentu saja hal ini tidak begitu disukai oleh kaum Quraisy Mekah sehingga beberapa perang terjadi setelah ini. Untuk lebih ditailnya tentang kelanjutan kisah ini, klik di Kisah Nabi-Nabi : Kisah Nabi Muhammad SAW - Perseteruan dengan Kaum Quraisy Mekkah.

Hijrahnya Kaum Muslimin Ke HABASYAH

Permusuhan dengan kaum kafir menyebabkan penderitaan dan kesu-sahan kaum Muslimin semakin bertambah. Akhirnya Rasulullah saw. meng-izinkan mereka meninggalkan Makkah. Banyak para sahabat yang hijrah ke negeri Habasyah, walaupun pada saat itu Habasyah dipimpin oleh seorang raja Nasrani pada waktu itu dia belum memeluk Islam yang terkenal karena kasih sayang dan keadilannya.

Pada bulan Rajab tahun ke-5 sejak Rasulullah saw. menjalankan dakwah, rombongan pertama telah diberangkatkan ke Habasyah. Rombongan itu berjumlah kurang lebih 12 orang lelaki dan 5 orang wanita. Orang-orang kafir Quraisy pun segera mengejar untuk menghalangi kaum muslimin, namun mereka tiba di pelabuhan setelah kapal kaum muslimin bertolak.

Setibanya di Habasyah, rombongan kaum muslimin mendengar kabar burung bahwa seluruh orang Quraisy telah memeluk Islam dan Islam telah mendapat kemenangan. Mendengar berita itu, mereka sangat gembira. Mereka pun memutus-kan untuk kembali ke tanah air mereka. Tetapi ketika hampir tiba di Makkah mereka mendapati bahwa berita itu hanya tipuan belaka. Karena ternyata gangguan dan permusuhan terhadap orang-orang Islam tidak berkurang sedikit pun. Dengan terpaksa mereka segera berlayar kembali ke Habasyah, sedangkan sebagian dari mereka terus memasuki kota Makkah dengan perlindungan orang yang berpengaruh. Peristiwa ini dikenal dengan nama hijrah ke Habasyah yang pertama.

Tidak lama setelah kejadian itu, satu rombongan sahabat yang lebih besar jumlahnya, yaitu sekitar 83 orang lelaki dan 18 orang wanita telah berhijrah ke Habasyah. Kepergian para sahabat yang kedua ini dikenal dengan sebuatan ‘Hijrah ke Habasyah yang Kedua’. Dalam rombongan hijrah yang kedua ini termasuk di antaranya sejumlah sahabat Nabi yang pernah ikut pada hijrah yang pertama.

Kepergian orang-orang Islam ke Habasyah menimbulkan kemarahan kaum kafirin Quraisy. Mereka mengirim satu rombongan khusus ke Habasyah dengan membawa bermacam-macam hadiah untuk membujuk raja Najasyi dan orang-orang penting di istananya serta pendeta-pendeta Nasrani. Setibanya di Habasyah, mereka segera menemui pembesar-pembesar istana dan para pendeta Nasrani. Dengan menyuap para pembesar istana dan para pendeta itu, mereka berhasil menemui raja. Mereka bersujud di hadapan raja sambil meletakan beraneka macam hadiah* di hadapannya, lalu mereka berkata, ‘Tuanku, sebagian dari warga kami telah meninggalkan agama nenek moyang kami dan telah memeluk agama baru yang bertentangan dengan agama’kami dan agama tuan. Mereka telah datang untuk menetap di sini. Pembesar-pembesar Makkah, orang tua dan kaum kerabat mereka telah mengutus kami untuk membawa mereka kembali. Kami memohon agar tuan bersedia menyerahkan mereka kepada kami.”

Raja Habasyah menjawab, “Kami tidak dapat menyerahkan orang yang telah meminta perlindungan kepada kami tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Biarlah mereka dibawa ke hadapan kami supaya kami dapat menelaah perkataan-perkataan mereka. Jika tuduhan kalian benar, kami akan menyerahkan mereka kepada kalian.” Kemudian raja Najasyi menyuruh pegawainya untuk membawa kaum muslimin ke hadapannya. Kaum muslimin merasa khawatir, karena tidak tahu apa yang harus diperbuat, tetapi Allah menolong mereka dan memberikan semangat kepada mereka. Sesampainya di hadapan raja, mereka menyampaikan salam kepada raja. Seorang aparat raja berkata, “Kalian tidak mempunyai sopan santun karena tidak bersujud kepada raja!”

“Nabi kami telah melarang kami agar tidak bersujud kepada selain Allah” jawab mereka. Lalu sang raja meminta mereka untuk menceritakan perihal yang sebenarnya.

Salah seorang sahabat, yaitu Ja’far r.a. bangun lalu berkata, “Wahai tuan raja! Dahulu kami ini manusia jahil. Kami tidak mengenal Allah dan Rasul-Nya, kami menyembah batu-batu dan memakan bangkai serta menger-jakan berbagai jenis kejahatan yang keji. Kami pun memutuskan hubungan silaturahmi. Yang kuat di antara kami akan menindas yang lemah. Dalam keadaan seperti itu, akhirnya datanglah seorang Nabi yang membawa pemba-haruan dalam kehidupan kami. Keturunannya yang mulia, kejujurannya, dan kehidupannya suci bersih sudah kami kenal dan telah tersebar luas. Beliau mengajak kami supaya menyembah Allah dan meninggalkan perbuatan-perbuatan syirik. Beliau memerintahkan kami agar melakukan yang ma’ruf dan meninggalkan yang mungkar. Beliau mengajarkan kepada kami supaya berkata benar, menunaikan amanah, menghormati kaum kerabat dan berbuat baik terhadap tetangga. Dari beliau kami belajar shalat, puasa, zakat dan berkelakuan baik. Beliau melarang perbuatan zina, berdusta, memakan harta anak yatim secara zhalim, dan memfitnah. Kami diajar supaya menjauhi perbuatan jahat, pertumpahan darah, dan sebagainya. Beliau juga meng­ajarkan kami al Quran, kitabullah yang mengagumkan. Oleh karena itu kami percaya kepada beliau, kami mengikuti jejak langkahnya, dan menerima ajaran yang dibawanya. Karena hal itulah kami diganggu dan disiksa dengan harapan kami kembali kepada agama semula. Karena kekejaman mereka telah melampuai batas perikemanusiaan, maka dengan izin beliau kami datang ke negeri ini untuk memohon perlindungan tuan.”

Raja Najasyi berkata, “Perdengarkanlah sedikit al Quran yang telah engkau pelajari dari Nabi itu.” Kemudian Ja’far r.a. membaca ayat permulaan surat Maryam. Ayat-ayat yang dibacanya sangat mengharukan hati pendengarnya, sehingga pipi-pipi mereka basah oleh air mata.

“Demi Allah!” kata raja Najasyi. “kalimat-kalimat yang dibaca tadi sama dengan kalimat-kalimat yang telah diturunkan kepada Nabi Musa a.s. dan merupakan nur dari sumber cahaya yang sama.” Raja memandang per-wakilan kaum Quraisy lalu mengatakan bahwa ia tidak akan menyerahkan para pengungsi itu kepada mereka.

Sungguhpun orang-orang Quraisy merasa malu dan hampa, namun mereka tidak mau mengaku kalah. Mereka bermusyawarah, kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan mengatakan sesuatu yang tentu dapat menimbulkan kemarahan baginda raja terhadap mereka.”

Usulan ini tidak disetujui oleh beberapa orang Quraisy. Sebagian mereka berpendapat bahwa dengan diterimanya usulan tersebut, berarti kaum muslimin terancam bahaya. Sedangkan mereka tidak menginginkan hal itu terjadi, karena sekalipun telah memeluk Islam, orang-orang itu adalah tetap darah daging dan kerabat mereka. Tetapi orang yang mengajukan usul itu tidak mau membatalkannya. Copyright © fadlie.web.id

Keesokan harinya perwakilan Quraisy ini menghasut raja Habasyah dengan mengatakan bahwa orang-orang Islam ini tidak percaya Nabi Isa itu anak Allah. Sekali lagi orang-orang Islam itu dibawa menghadap raja. Mereka gemetar karena ketakutan. Ketika ditanya mengenai Nabi Isa a.s., dengan tegas mereka menjawab, “Kami percaya kepada firman-firman Allah menge­nai Isa a.s. yang diturunkan kepada Nabi kami, bahwa dia hanyalah seorang hamba dan pesuruh Allah. Kami juga percaya dengan firman-firman Allah yang telah disampaikan kepada Maryam.”Copyright © fadlie.web.id

Raja Najasyi berkata, “Demikian itulah pengakuan Isa tentang dirinya, tidak ada perbedaan sedikit pun.” Para pendeta yang mendengar perkataan raja bersungut-sungut mem-bantah pernyataan itu, tetapi raja tidak menghiraukan mereka. Raja berkata kepada para utusan Quraisy, “Katakan apa keinginan kalian?” Sambil berkata demikian, raja pun mengembalikan hadiah-hadiah yang telah diberikan oleh para utusan Quraisy itu. Kemudian raja mengalihkan perhatiannya kepada orang-orang Islam dan berkata, “Tinggallah kalian di sini dengan aman, orang-orang yang menganiaya kalian akan menerima hukuman yang berat.”

Rombongan para utusan kafir Quraisy pun pulang dengan perasaan kecewa dan malu. Kegagalan perwakilan Quraisy dan kemenangan orang-orang Islam ini menyebabkan kaum musyrikin bertambah berang, apalagi setelah mendengar Umar memeluk Islam. Mereka terus memikirkan bagai-mana caranya menghancurkan kaum muslimin. Akibat kemarahan yang meluap ini maka para pemuka Quraisy mengadakan musyawarah yang tujuan utamanya adalah merencanakan pembunuhan Rasulullah saw. Copyright © fadlie.web.id

Namun membunuh Muhammad itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Bani Hasyim yang satu keturunan dengan Muhammad saw. yang jumlahnya cukup banyak dan sangat kuat pengaruhnya, sungguhpun banyak yang belum memeluk Islam, namun sudah pasti mereka tidak akan berdiam diri kalau salah seorang dari kalangan mereka dibunuh. Copyright © fadlie.web.id

Akhirnya dalam musyawarah para pemuka Quraisy itu diputuskan untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Isi keputusan itu menya-takan bahwa orang-orang Quraisy tidak boleh bergaul dengan Bani Hasyim atau pun sebaliknya. Tidak boleh mengadakan jual beli dan berbicara dengan mereka, bahkan tidak boleh berkunjung ke rumah-rumah mereka. Kepu­tusan ini terus berlaku selama Bani Hasyim tidak menyerahkan Muhammad saw. untuk dibunuh. Keputusan tersebut tidak hanya berupa kata-kata, bahkan mereka membuat maklumat tertulis pada tanggal satu Muharram tahun ketujuh kenabian. Maklumat yang ditandatangani oleh tiap pemuka Quraisy itu digantung di dinding Ka’bah supaya semua orang dapat menge-tahui dan mematuhinya. Copyright © fadlie.web.id

Pemboikotan itu berjalan selama tiga tahun dan selama itu Muhammad beserta Bani Hasyim dan Bani Muthalib terkurung di sebuah lembah di kota Makkah . Mereka tidak dibenarkan keluar dari lembah itu dan tidak diper-bolehkan jual beli dengan kaum Quraisy bahkan dengan pedagang asing sekalipun. Mereka yang melanggar, dihukum dengan hukuman yang kejam. Pemboikotan ini sudah tentu mengakibatkan Bani Hasyim dan yang lainnya menderita kesusahan dan kelaparan. Karena mereka tidak bisa keluar dari lembah itu untuk mendapatkan keperluan mereka dari orang-orang Quraisy, pedagang lain pun tidak berani datang ke tempat mereka. Sebagian kaum wanita yang sedang menyusui, air susunya kering, sehingga tidak dapat menyusui bayinya dan anak-anak mereka menangis menjerit-jerit kelaparan. Untung saja ada sedikit makanan yang diselundupkan oleh para lelaki kaum Quraisy yang telah menikah dengan wanita-wanita Bani Hasyim. Sungguh­pun penderitaan mereka tidak terbayangkan beratnya, namun Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya tetap teguh dalam keimanan mereka, bahkan dalam keadaan demikian, mereka sempat pula menyampaikan risalah Ilahi kepada manusia yang senasib dengan mereka.

Akhirnya setelah tiga tahun berlalu, atas kehendak dan kemurahan Allah Swt, maklumat yang digantung di dinding Kabah itu pun hancur dimakan rayap, dan pemboikotan yang dilakukan terhadap Bani Hasyim dan keluarganya itu dengan sendirinya tidak berlaku lagi.

Hikmah dari kisah di atas:
Demikianlah secara ringkas gambaran penderitaan yang dialami Nabi dan para sahabatnya. Kita yang mengaku sebagai pengikut-pengikut beliau, patutlah bertanya kepada diri sendiri mengenai usaha yang telah kita lakukan untuk menegakkan syi’ar Islam. Adakah pengorbanan yang telah kita berikan dl, jalan Allah? Kita menginginkan kemajuan dunia dan kenikmatan akhirat tetapi lupa dengan semua ini, bahwa hal ini tidak mungkin diperoleh tanpa pengorbanan di jalan Allah. Saya mengkhawatirkan kalian, hai orang-orang Badwi, kalian tidak akan sampai ke Ka’bah, karena jalan yang kalian tempuh menuju ke Turkist

sumber : Fhadail 'Amal

Hijrahnya Kaum Muslimin Ke THOIF

Thabarani mengeluarkan dari Abdullah bin Ja'far ra. katanya: Raulullah SAW telah berangkat ke Tha'if berjalan kaki untuk mengajak penduduknya memeluk Islam, tetapi sangat disayangkan, tidak ada seorang yang mau menerimanya. Ketika kembali, Beliau duduk berteduh di bawah pohon besar, Beliau lalu bersholat dua rakaat di situ, dan setelah itu Beliau berdoa (yang bermaksud):

Ya Allah! Ya Tuhanku! Aku mengadukan kepadamu akan kelemahanku dan penghinaan orang terhadap diriku, wahai Tuhan Maha Pengasih dari sekalian manusia. Kepada siapakah Engkau ingin menyerahkan, diriku ini? Apakah Engkau akan menyerahkan diriku kepada musuh-musuhku yang akan membinasakanku, ataupun kepada seorang yang bertimbang rasa yang dapat menimbangkan perkaraku. Tetapi jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak menghiraukan semua itu, selain belas kasihanmu itu lebih banyak yang aku harapkan. Aku berlindung kepadamu demi ZatMu yang mencetuskan cahaya yang dapat menghapuskan segala kegelapan, dan yang mana digantungkan padanya segala urusan dunia dan akhirat, agar tiadalah turun ke atas diriku ini kemurkaanmu, atau menempat pada diriku kebencianmu, bagimu segala rupa keridhaan sehinggalah Engkau meridhai, dan tiada daya upaya melainkan dengan Allah saja! (Majma'uz-Zawa'id 6:35)

MANGKUK YANG CANTIK, MADU DAN SEHELAI RAMBUT

Rasulullah SAW, dengan sahabatnya Abu bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan Ali ra, bertamu ke rumah Ali ra. Di rumah Ali ra istrinya Sayidatina Fatimah r.ha. putri Rasulullah SAW menghidangkan mereka madu yang diletakan didalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan, sehelai rambut terikut didalamnya.

Baginda Rosulullah SAW kemudian meminta semua sahabatnya untuk membuat perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (mangkuk yang cantik, madu dan sehelai rambut).

Abu bakar r.a. berkata,"Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih sulit dari menjaga / meniti sehelai rambut ini.

Umar r.a. berkata,"kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Utsman r.a. berkata,"ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menuntut ilmu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu yang dimiliki lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Ali r.a. berkata,"tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu ini, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang kerumahnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Fatimah r.ha. berkata," seorang wanita itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, wanita yang beriman lebih manis dari madu ini, dan mendapatkan wanita yang tak pernah terlihat oleh orang lain kecuali olah murimnya sendiri lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Rosulullah SAW berkata,"seorang yang mendapat taufik untuk beramal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, beramal dengan amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Malaikat Jibril AS berkata,"menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menyerahkan diri,harta dan waktu untuk urusan agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Allah S.W.T berfirman,"Surga-Ku lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat surga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju surga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut ini.

Radio Rodja - Tilawah dan Kajian Islam



Get this radio or tv online here: Radio and TV online
Do you indonesia ?